Indonesia Siapkan Tiga Aspek Infrastruktur Digital Ramah Lingkungan
Jakarta - Untuk mendukung ekonomi digital ramah lingkungan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menerapkan tiga aspek utama, yakni konektivitas, inftasruktur data dan aplikasi.
"Dalam aspek konektivitas, Kementerian Kominfo telah menginisiasi pengembangan jaringan 5G yang saat ini telah mencakup daerah di 13 kota di Indonesia. Secara operasional, jaringan 5G merupakan teknologi yang lebih ramah lingkungan, dengan lebih banyak bit data per kilowatt energi dibandingan generasi nirkabel sebelumnya,” jelas Staf Khusus Menteri Kementerian Komunikasi dan Informatika Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia, Dedy Permadi, dalam acara Open Society Conference (OSC) 2022 yang diselenggarakan Universitas Terbuka secara virtual dari Jakarta, pada Kamis (7/7/2022).
Pada aspek kedua, yakni infrastruktur data, Kementerian Kominfo mendorong pengembangan Pusat Data Hijau (green data center) yang menggunakan energi terbarukan dengan lebih efisien.
"Dengan adanya metaverse, konsumsi data akan terus meningkat, dan oleh karenanya, Pusat Data Hijau menjadi penting untuk dikembangkan," imbuhnya.
Sedangkan dalam aspek ketiga, yakni aplikasi, Kementerian Kominfo memfasilitasi pengembangan Rencana Induk Kota Pintar (Smart City Masterplan) bagi 141 kota dan kabupaten melalui Gerakan Menuju 100 Smart City sejak 2017 lalu.
“Salah satu dimensi pengembangan smart city adalah ‘smart environment’, di mana inovasi digital seperti digital twins dapat dipergunakan untuk melakukan simulasi solusi bagi lingkungan secara virtual dan mengurangi biaya operasional,” jelasnya.
Menurut Dedi, pengembangan metaverse secara bertanggung jawab dan akuntabel juga dapat berperan bagi keberlanjutan lingkungan, seperti melalui utilisasi virtual reality, augmented reality, dan mixed reality.
Salah satu sektor yang bisa menuai manfaat dari kemajuan metaverse adalah industri mode atau fashion yang selama ini memproduksi banyak limbah berbahaya.
“Industri fashion dapat memproduksi limbah yang lebih sedikit dengan menggunakan medium virtual clothing, juga dengan menyelenggarakan fashion show di metaverse,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, metaverse juga menjadi enabler dalam mencapai dan meningkatkan kesadaran akan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
"Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan mendukung inisiatif kompetisi pembuatan SDGs experience menggunakan teknologi virtual reality dalam metaverse," tandasnya.
Kendati banyak manfaatnya, penggunaan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) berskala besar dalam pengembangan metaverse dapat berpotensi meninggalkan jejak karbon dan mengkonsumsi energi yang signifikan.
Contohnya adalah rata-rata transaksi Ethereum, sebagai salah satu mata uang kripto (crypto currency) yang juga digunakan dalam metaverse, mengkonsumsi 60 persen lebih banyak energi dibandingkan transaksi dari 100.000 kartu kredit.
Selain itu, rata-rata satu transaksi dari non-fungible token (NFT) menghasilkan 48 kilogram CO2, atau sama dengan membakar 18 liter solar.
“Oleh karena itu, dibutuhkan pengadopsian infrastruktur TIK yang ramah lingkungan untuk meminimalisasi risiko lingkungan dan membangun dunia metaverse yang inklusif dan berkelanjutan,” tandasnya.
Konsepnya adalah membuat operasional pusat data tersebut memanfaatkan energi terbarukan sehingga bisa bekerja lebih efisien.
Apalagi menyongsong era metaverse yang semakin di depan mata, konsumsi data tentunya akan semakin masif dan memakan daya.
Untuk itu diperlukan pemanfaatan daya yang ramah lingkungan namun tetap dapat mendukung kemajuan layanan di ruang digital di masa depan.
Pada aspek terakhir yaitu aspek aplikasi, melalui program Kota Pintar atau Smart City sejak 2017, Kementerian Kominfo mendorong adanya simulasi- simulasi solusi bagi lingkungan secara virtual seperti pengaplikasian inovasi "digital twins" sehingga bisa juga membantu efisiensi biaya operasional.
Inovasi "digital twins" adalah sebuah model virtual yang memang bisa menunjukkan secara persis objek fisik ke dalam bentuk digital, dan telah banyak digunakan oleh berbagai sektor industri termasuk otomotif hingga penataan kota.
Aplikasi digital untuk kota- kota pintar yang telah diadaptasi di 141 kota maupun kabupaten itu tentunya membantu kinerja penanganan sebuah masalah menjadi lebih mudah karena mendapatkan gambar yang jelas lewat bantuan teknologi.
Ketiga aspek itu sejalan dengan visi Indonesia menargetkan "Net Zero Emission" pada 2060.
Membangun infrastruktur digital yang ramah lingkungan pun nantinya tidak hanya berdampak baik untuk kondisi alam tapi juga menyiapkan ekosistem digital khususnya menyongsong era metaverse yang lebih keberlanjutan.
Metaverse dengan beragam pengembangannya yang memanfaatkan virtual reality, augmented reality, bahkan menciptakan mixed reality seharusnya di masa depan bisa membantu mengatasi masalah lingkungan.
Komentar
Posting Komentar