3 Kunci Jokowi Selamatkan RI dari Ambruk Ekonomi yang Intai 60 Negara
Jakarta --
Presiden Jokowi menyebutkan ekonomi 60 negara di dunia akan ambruk. Hal ini
disebabkan oleh 'penyakit' bertubi-tubi yang menggerogoti ekonomi negara
tersebut.
Penyakit mulai serangan wabah covid hingga
dampak perang Rusia dan Ukraina. Meski demikian, Jokowi tidak menyebutkan mana
saja negara yang dimaksud.
Pernyataan kepala negara ini juga sejalan
dengan laporan Bank Dunia pada awal Juni lalu. Presiden Bank Dunia David
Malpass mengatakan banyak negara akan mengalami resesi ekonomi yang disebabkan
oleh banyak faktor.
"Perang di Ukraina, lockdown di China,
gangguan rantai pasokan, dan risiko stagflasi memukul pertumbuhan. Bagi banyak
negara, resesi akan sulit dihindari," ujar Malpass dalam laporan Bank
Dunia bertajuk Global Economic Prospect June 2022 (GEP).
Dalam laporan ini, Bank Dunia menyebutkan
tekanan inflasi yang begitu tinggi di banyak negara tak sejalan dengan
pertumbuhan ekonominya. Hal ini tercermin dari banyak negara yang dipangkas
proyeksi pertumbuhan ekonominya baik di kelompok negara maju maupun berkembang.
Di antaranya, pertumbuhan ekonomi Rusia
diprediksi akan mengalami kontraksi 8,9 persen dan Ukraina kontraksi 45,1
persen. Hal ini juga terjadi pada pertumbuhan ekonomi dua negara besar yakni
Amerika Serikat (AS) juga dipangkas menjadi 2,5 persen serta China menjadi 4,3
persen di tahun ini.
Kemudian negara berkembang yang juga mengalami
penurunan proyeksi ekonomi adalah Jepang menjadi 1,7 persen dan India menjadi
7,5 persen dan Brazil menjadi 1,5 persen.
Sementara itu Indonesia kata prediksi mereka
terbilang cukup aman dari ancaman resesi ekonomi ini. Sebab, proyeksi
pertumbuhan ekonominya tidak diubah oleh Bank Dunia yang pada tahun ini tetap
di level 5,1 persen.
Meski perekonomian Indonesia terbilang cukup
aman, Jokowi menekankan bahwa kewaspadaan harus ditingkatkan. Sebab, tidak ada
yang tahu apa yang akan terjadi ke depan apalagi perang belum ada tanda-tanda
akan berakhir.
"Kita nggak mengerti apa yang harus kita
lakukan, sehingga berjaga-jaga, waspada, hati-hari adalah hal yang sangat kita
perlukan," kata Jokowi.
Direktur Center of Economics and Law Studies
(Celios) Bhima Yudhistira mengatakan perekonomian Indonesia masih sangat aman
sampai sejauh ini. Ini tercermin dari fundamental perekonomian yang begitu kuat
tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang masih cukup tinggi sampai akhir tahun
ini.
"Untuk full year masih bisa di 4,5
persen. Di kuartal II akan lebih tinggi bisa 5 persen sampai 5,5 persen karena
kuartal II masih dibantu oleh mudik lebaran," ujarnya kepada CNNIndonesia.
Namun ia melihat ada beberapa hal yang harus
diantisipasi agar Indonesia tidak masuk dalam pusaran resesi. Pertama,
memastikan posisi utang luar negeri aman dan tidak bergantung pada negara yang
nantinya mengalami resesi.
"Exposure pembiayaan internasional cukup
aman, terutama dari Amerika Serikat (AS). Karena resesi ini kan diperkirakan
berasal dari AS atau dari negara maju. Maka perusahaan yang bergantung pada
pembiayaan atau utang terutama kreditur terbesarnya AS, maka mereka yang bisa
terpapar dampak sistemik krisis ataupun resesi," tutur Bhima.
Adapun posisi utang luar negeri Indonesia saat
ini cukup aman dan bahkan turun. Dalam laporan Bank Indonesia tercatat Utang
Luar Negeri (ULN) Indonesia berada di posisi US$409,5 miliar.
Realisasi ULN ini turun dibandingkan posisi
akhir Maret 2022 yang sebesar US$412,1 miliar. Kondisi ULN ini sejalan dengan
penurunan utang pemerintah yang US$196,2 miliar pada akhir Maret 2022 menjadi US$190,5
per akhir April.
Kedua, mengantisipasi penurunan harga
komoditas unggulan Indonesia yang dalam beberapa waktu ini menjadi andalan
untuk penerimaan negara. Sebab, ini akan berdampak pada neraca perdagangan yang
surplusnya bisa mengecil atau bahkan kembali defisit.
"Nah padahal kalau kita ingin memperkuat
fundamental porsi manufakturnya, produk manufaktur yang relatif yang lebih
value added itu ditambah sehingga surplusnya bisa berkualitas," kata
Bhiman.
Kemudian ia juga berharap pemerintah dan Bank Indonesia
bisa kembali memperbesar porsi devisa hasil ekspor (DHE) untuk dikonversi ke
rupiah dan disimpan di bank dalam negeri. Ini untuk memastikan bahwa hasil
ekspor tersimpan dalam mata uang rupiah di Indonesia.
"Tapi berapa banyak dan berapa persen yang
dikonversi ke rupiah, karena itu yang lebih penting bukan hanya nominal
surplusnya," jelasnya.
Ketiga, yang harus diwaspadai adalah kenaikan
kasus covid-19 dan juga makin luasnya penyebaran wabah penyakit mulut dan kuku
(PMK) hewan ternak. Sebab ini berimbas bagi masyarakat luas.
Bhima melihat jika covid-19 kembali naik maka
confident masyarakat terutama kelas menengah atas dalam membelanjakan uangnya
bisa kembali turun sehingga akan berpengaruh ke konsumsi rumah tangga. Begitu
juga dengan investor yang ingin masuk ke Indonesia akan wait and see.
"Itu masalah dalam negeri yang bisa
berdampak ke konsumsi rumah tangga dan juga investasi sebagai dua sektor
pendorong ekonomi kita," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform
on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyebutkan yang menentukan arah
perekonomian Indonesia adalah faktor global dan dalam negeri.
Untuk faktor dalam negeri, proses pemulihan
ekonomi sangat ditentukan oleh covid-19. Jika pandemi tidak berlanjut maka
proses pemulihan akan berlanjut.
Dan itu artinya potensi RI terkena krisis
sangat jauh.
"Ekonomi kita bergantung pada konsumsi
rumah tangga dan investasi. Keduanya ini ditentukan oleh kondisi pandemi. Jadi
untuk Indonesia tidak masuk krisis lagi syaratnya gelombang keempat pandemi
tidak boleh terjadi," kata Piter.
Komentar
Posting Komentar